Rabu, 15 Mei 2013

contoh penelitian


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Keberadaan kegiatan perdagangan seperti pasar modern jenis hypermarket, supermarket, dan minimarket sudah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya masyarakat perkotaan cenderung membeli kebutuhan tersebut dari pada memproduksi sendiri. Dahulu, tempat berbelanja untuk membeli kebutuhan sehari-hari tersebut umumnya adalah pasar tradisional/toko kelontong. Namun sesuai dengan perkembangan kota dan perekonomian, perdagangan eceran mengalami perkembangan dengan munculnya perdagangan eceran modern di Indonesia pada tahun 1970-an yaitu munculnya pasar modern dalam bentuk supermarket (Sulistyowati, 1999). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007, ada beberapa jenis pasar modern yang ada di Indonesia saat ini yaitu: minimarket, supermarket, hypermarket, department store dan perkulakan.

Minimarket merupakan sebuah varian baru dalam dunia perdagangan dengan konsep belanja segala kebutuhan hidup pada satu atap, yang melayani perdagangan dalam skala grosir. Tetapi dewasa ini, minimarket telah berkembang dan merubah strategi menjadi sebuah peritel raksasa (melayani penjualan komoditas kepada pengguna akhir). Pesatnya pembangunan minimarket di beberapa kota besar di Indonesia termasuk di Makassar didukung oleh respon positif dari masyarakat yang membutuhkan suatu fasilitas perdagangan yang dapat melayani berbagai kebutuhan dalam sekali jalan. Selain itu segala kemudahan dan kenyamanan dalam berbelanjapun dapat dipenuhi oleh minimarket. Hal inilah yang memicu trend perubahan perilaku belanja masyarakat dari pasar tradisional ke pasar modern. Apalagi minimarket mempunyai range komoditas yang begitu luas mulai dari  baarang-barang kebutuhan sehari-hari sampai dengan peralatan elektronik. Hal inilah yang membedakan minimarket dengan pasar modern pada kelas dibawahnya (Setyawarman, 2006) . Pembangunan minimarket yang demikian pesat juga didukung oleh kemudahan perolehan ijin lokasi dan usaha perdagangan. Hal ini ternyata tidak dibarengi dengan peraturan yang melandasi secara spesifik kebutuhan lokasi minimarket. Sampai saat ini dalam melakukan perijinan lokasi, minimarket memiliki kewajiban yang tidak berbeda dengan izin usaha perdagangan yang lain. Padahal apabila ditinjau dari skala pelayanan, minimarket merupakan fasilitas perdagangan yang memiliki skala pelayanan regional yang memiliki kebutuhan lokasi yang berbeda dengan fasilitas perdagangan yang lain. Selama kurun waktu 2003-2008 pertumbuhan gerai ritel modern cukup fenomenal, yakni 162 persen. Bahkan, pertumbuhan gerai mini market mencapai 254,8 persen, yakni dari 2.058 gerai pada 2003 menjadi 7.301 gerai pada 2008 (vivanews.com Januari 2011) Secara nasional kasus-kasus menjamurnya ritel modern ini diantaranya :
Seluruh pasar tradisional di Kabupaten Garut, Jawa Barat, terancam bangkrut. Kondisi tersebut menyusul menjamurnya minimarket dan waralaba di sejumlah tempat strategis yang tidak jauh dari pemukiman warga. akibat keberadaan mini market tersebut sedikitnya tercatat sekitar 18 persen konsumen pasar tradisional beralih. Masyarakat lebih memilih untuk membeli kebutuhan sehari-harinya di mini market. Keberadaan minimarket di Garut sendiri melebihi 100 unit. (TEMPO Interaktif, 10 Mei 2010).

Gerai minimarket yang terus tumbuh di perumahan tanpa terkendali diminta bersaing secara fair dengan pasar tradisional maupun warung-warung skala usaha mikro dan kecil yang terus kian terdesak, Jakarta.(Bisnis.com, April,2010).

Di Jakarta sejumlah pedagang pasar Karet resah dengan keberadaan minimarket di kawasan tersebut. Keberadaan minimarket di dekat pasar membuat omzet pedagang terus menurun. Mereka kalah bersaing dalam memikat konsumen. (vivanews.com 15 Oktober 2010).

Dari kasus-kasus nasional diatas, hal serupa juga terjadi pada wilayah Indonesia lainnya pada wilayah Jawa Timur misalnya. Pertumbuhan minimarket juga sangat pesat di wilayah Jawa Timur, di wilayah Jatim ada 300-400 izin baru minimarket. Sampai akhir 2009, terdapat 4.250 mini market di Jatim, naik 677 (18,62) persen dari 2008 yang 3.633 mini market. Akhir 2010, jumlahnya diprediksi meningkat 40 persen. (Surabaya Post, Mei 2010). Surabaya yang merupakan ibukota Jawa Timur terdapat 475 outlet hingga akhir tahun 2009. Sementara tahun 2010 berdasarkan laporan DPD Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Jatim, ada 30-50 pengajuan izin baru mendirikan minimarket. Dari 346 minimarket di kota Surabaya masih banyak minimarket yang belum melengkapi perizinan (data versi Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya), sebanayak 40 persennya tidak berizin (Surabaya Post, Mei 2010). Sampai akhir tahun 2009 masih banyak minimarket tidak mengantongi izin usaha toko modern. Bahkan yang lebih memprihatinkan, izin usaha yang merupakan perpaduan dari empat perizinan, yakni izin gangguan (HO), izin peruntukan kawasan (zoning), izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat izin usaha usaha perdagangan (SIUP) tidak pernah disosialisasikan pemerintah kota. (vivanews.com 24 September 2010).

Pertumbuhan pasar modern beberapa tahun terakhir cukup luar biasa, berbanding terbalik dengan kondisi pasar tradisional. Ini terbukti dengan mudahnya kita menjumpai minimarket-minimarket atau pasar modern di ruas-ruas jalan raya maupun jalan-jalan biasa. rata-rata di setiap jalan besar terdapat sedikitnya 4 jenis minimarket. sebaran minimarket dan supermarket tersebut sangat tampak tidak terkendali. Di jalan cendrawasih misalnya, berdiri sekitar 8 minimarket yang beberapa diantaranya saling berdekatan lokasinya satu sama lain. Hal itu mengindikasikan bahwa tidak ada regulasi yang mengatur sebaran pasar modern agar terdistribusi secara berimbang. Dengan kata lain, pertumbuhan pasar modern di Kota Makassar bergerak begitu tidak terkendali (gagasanhukum.wordpress.com).

      Fenomena ini mengindikasikan bahwa pola pertumbuhan minimarket tumbuh secara acak dan tak terkendali. Dari beberapa fenomena dan kasus diatas dapat dilihat bahwa ekspansi yang terjadi dari adanya pertumbuhan minimarket yang makin menjamur berpotensi memunculkan persaingan yang timbul karena lokasi yang berdekatan antara satu dengan yang lainnya, apalagi berdekatan dengan toko kelontong yang mengakibatkan penurunan omzet  toko kelontong hal ini dikarenakan begitu mudahnya peritel-peritel modern dalam membangun pasar modern tersebut. Fenomena seperti ini prn lainnya perlu adanya pertimbangan-pertimbangan yang mengatur lokasi minimarket agar tidak terjadi penumpukkan. Dalam hal ini perlu adanya rumusan mengenai kriteria-kriteria lokasi minimarket di Kawasan Sulawesi Selatan, khususnya kota Makassar yang merupakan suatu instrumen pengendalian yang perlu diterapkan dalam menciptakan persaingan yang kondusif. Perumusan pola lokasi ini diharapkan mampu menjadi pertimbangan bagi pihak yang terkait dalam merumuskan pedoman atau pengaturan lokasi pendirian minimarket.

          Melihat kondisi yang sedemikian sulit membuat kami jadi berfikir bahwa kelangsungan hidup dari usaha-usaha kelontong memang sangat terancam dengan keberadaan minimarket yang menjamur ditengah masyarakat.
Oleh karenanya kami mengangkat sebuah penelitian dengan judul “ PENGARUH KOMITMEN PELAYANAN DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN MUNCULNYA MINIMARKET TERHADAP KINERJA PEMILIK TOKO KELONTONG DI KECAMATAN MARISO KOTA MAKASSAR.”

1.2    Rumusan Masalah
          Berdasarkan latar belakang yang telah kami paparkan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian yang kami angkat adalah:
“Apakah ada pengaruh komitmen pelayanan dalam menghadapi persaingan munculnya minimarket terhadap kinerja pemilik toko kelontong di kecamatan Mariso Kota Makassar.”

1.3    Tujuan Penelitian
          Adapun tujuan penelitian yang kami harapkan dalam penelitian ini untuk menjawab apa yang menjadi problem dari fenomena yang kami teliti, yaitu untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan komitmen pelayanan dalam menghadapi persaingan munculnya minimarket terhadap kinerja pemilik toko kelontong di kecamatan Mariso Kota Makassar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar