BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Keberadaan
kegiatan perdagangan seperti pasar modern jenis hypermarket, supermarket, dan
minimarket sudah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dalam kehidupan
masyarakat perkotaan. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya masyarakat
perkotaan cenderung membeli kebutuhan tersebut dari pada memproduksi sendiri.
Dahulu, tempat berbelanja untuk membeli kebutuhan sehari-hari tersebut umumnya
adalah pasar tradisional/toko kelontong. Namun sesuai dengan perkembangan kota
dan perekonomian, perdagangan eceran mengalami perkembangan dengan munculnya
perdagangan eceran modern di Indonesia pada tahun 1970-an yaitu munculnya pasar
modern dalam bentuk supermarket (Sulistyowati, 1999). Berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 112 Tahun 2007, ada beberapa jenis pasar modern yang ada di
Indonesia saat ini yaitu: minimarket, supermarket, hypermarket, department
store dan perkulakan.
Minimarket
merupakan sebuah varian baru dalam dunia perdagangan dengan konsep belanja
segala kebutuhan hidup pada satu atap, yang melayani perdagangan dalam skala
grosir. Tetapi dewasa ini, minimarket telah berkembang dan merubah strategi
menjadi sebuah peritel raksasa (melayani penjualan komoditas kepada pengguna
akhir). Pesatnya pembangunan minimarket di beberapa kota besar di Indonesia termasuk
di Makassar didukung oleh respon positif dari masyarakat yang membutuhkan suatu
fasilitas perdagangan yang dapat melayani berbagai kebutuhan dalam sekali
jalan. Selain itu segala kemudahan dan kenyamanan dalam berbelanjapun dapat
dipenuhi oleh minimarket. Hal inilah yang memicu trend perubahan perilaku
belanja masyarakat dari pasar tradisional ke pasar modern. Apalagi minimarket
mempunyai range komoditas yang begitu luas mulai dari baarang-barang kebutuhan sehari-hari sampai
dengan peralatan elektronik. Hal inilah yang membedakan minimarket dengan pasar
modern pada kelas dibawahnya (Setyawarman, 2006) . Pembangunan minimarket yang
demikian pesat juga didukung oleh kemudahan perolehan ijin lokasi dan usaha
perdagangan. Hal ini ternyata tidak dibarengi dengan peraturan yang melandasi
secara spesifik kebutuhan lokasi minimarket. Sampai saat ini dalam melakukan
perijinan lokasi, minimarket memiliki kewajiban yang tidak berbeda dengan izin
usaha perdagangan yang lain. Padahal apabila ditinjau dari skala pelayanan,
minimarket merupakan fasilitas perdagangan yang memiliki skala pelayanan
regional yang memiliki kebutuhan lokasi yang berbeda dengan fasilitas
perdagangan yang lain. Selama kurun waktu 2003-2008 pertumbuhan gerai ritel
modern cukup fenomenal, yakni 162 persen. Bahkan, pertumbuhan gerai mini market
mencapai 254,8 persen, yakni dari 2.058 gerai pada 2003 menjadi 7.301 gerai
pada 2008 (vivanews.com Januari 2011) Secara nasional kasus-kasus menjamurnya
ritel modern ini diantaranya :
Seluruh pasar tradisional di Kabupaten Garut,
Jawa Barat, terancam bangkrut. Kondisi tersebut menyusul menjamurnya minimarket
dan waralaba di sejumlah tempat strategis yang tidak jauh dari pemukiman warga.
akibat keberadaan mini market tersebut sedikitnya tercatat sekitar 18 persen
konsumen pasar tradisional beralih. Masyarakat lebih memilih untuk membeli
kebutuhan sehari-harinya di mini market. Keberadaan minimarket di Garut sendiri
melebihi 100 unit. (TEMPO Interaktif, 10 Mei 2010).
Gerai
minimarket yang terus tumbuh di perumahan tanpa terkendali diminta bersaing
secara fair dengan pasar tradisional maupun warung-warung skala usaha mikro dan
kecil yang terus kian terdesak, Jakarta.(Bisnis.com, April,2010).
Di
Jakarta sejumlah pedagang pasar Karet resah dengan keberadaan minimarket di
kawasan tersebut. Keberadaan minimarket di dekat pasar membuat omzet pedagang
terus menurun. Mereka kalah bersaing dalam memikat konsumen. (vivanews.com 15
Oktober 2010).
Dari
kasus-kasus nasional diatas, hal serupa juga terjadi pada wilayah Indonesia
lainnya pada wilayah Jawa Timur misalnya. Pertumbuhan minimarket juga sangat
pesat di wilayah Jawa Timur, di wilayah Jatim ada 300-400 izin baru minimarket.
Sampai akhir 2009, terdapat 4.250 mini market di Jatim, naik 677 (18,62) persen
dari 2008 yang 3.633 mini market. Akhir 2010, jumlahnya diprediksi meningkat 40
persen. (Surabaya Post, Mei 2010). Surabaya yang merupakan ibukota Jawa Timur
terdapat 475 outlet hingga akhir tahun 2009. Sementara tahun 2010 berdasarkan
laporan DPD Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Jatim, ada 30-50 pengajuan izin
baru mendirikan minimarket. Dari 346 minimarket di kota Surabaya masih banyak
minimarket yang belum melengkapi perizinan (data versi Dinas Perdagangan dan
Perindustrian Kota Surabaya), sebanayak 40 persennya tidak berizin (Surabaya
Post, Mei 2010). Sampai akhir tahun 2009 masih banyak minimarket tidak
mengantongi izin usaha toko modern. Bahkan yang lebih memprihatinkan, izin
usaha yang merupakan perpaduan dari empat perizinan, yakni izin gangguan (HO),
izin peruntukan kawasan (zoning), izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat izin
usaha usaha perdagangan (SIUP) tidak pernah disosialisasikan pemerintah kota.
(vivanews.com 24 September 2010).
Pertumbuhan
pasar modern beberapa tahun terakhir cukup luar biasa, berbanding terbalik
dengan kondisi pasar tradisional. Ini terbukti dengan mudahnya kita menjumpai
minimarket-minimarket atau pasar modern di ruas-ruas jalan raya maupun
jalan-jalan biasa. rata-rata di setiap jalan besar terdapat sedikitnya 4 jenis
minimarket. sebaran minimarket dan supermarket tersebut sangat tampak tidak
terkendali. Di jalan cendrawasih misalnya, berdiri sekitar 8 minimarket yang
beberapa diantaranya saling berdekatan lokasinya satu sama lain. Hal itu mengindikasikan
bahwa tidak ada regulasi yang mengatur sebaran pasar modern agar terdistribusi
secara berimbang. Dengan kata lain, pertumbuhan pasar modern di Kota Makassar
bergerak begitu tidak terkendali (gagasanhukum.wordpress.com).
Fenomena ini mengindikasikan bahwa pola
pertumbuhan minimarket tumbuh secara acak dan tak terkendali. Dari beberapa
fenomena dan kasus diatas dapat dilihat bahwa ekspansi yang terjadi dari adanya
pertumbuhan minimarket yang makin menjamur berpotensi memunculkan persaingan
yang timbul karena lokasi yang berdekatan antara satu dengan yang lainnya,
apalagi berdekatan dengan toko kelontong yang mengakibatkan penurunan omzet toko kelontong hal ini dikarenakan begitu
mudahnya peritel-peritel modern dalam membangun pasar modern tersebut. Fenomena
seperti ini prn lainnya perlu adanya pertimbangan-pertimbangan yang mengatur
lokasi minimarket agar tidak terjadi penumpukkan. Dalam hal ini perlu adanya
rumusan mengenai kriteria-kriteria lokasi minimarket di Kawasan Sulawesi
Selatan, khususnya kota Makassar yang merupakan suatu instrumen pengendalian
yang perlu diterapkan dalam menciptakan persaingan yang kondusif. Perumusan
pola lokasi ini diharapkan mampu menjadi pertimbangan bagi pihak yang terkait
dalam merumuskan pedoman atau pengaturan lokasi pendirian minimarket.
Melihat
kondisi yang sedemikian sulit membuat kami jadi berfikir bahwa kelangsungan
hidup dari usaha-usaha kelontong memang sangat terancam dengan keberadaan
minimarket yang menjamur ditengah masyarakat.
Oleh karenanya kami mengangkat sebuah penelitian
dengan judul “ PENGARUH KOMITMEN PELAYANAN DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN
MUNCULNYA MINIMARKET TERHADAP KINERJA PEMILIK TOKO KELONTONG DI KECAMATAN
MARISO KOTA MAKASSAR.”
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang telah kami paparkan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam
penelitian yang kami angkat adalah:
“Apakah ada pengaruh
komitmen pelayanan dalam menghadapi persaingan munculnya minimarket terhadap
kinerja pemilik toko kelontong di kecamatan Mariso Kota Makassar.”
1.3 Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang kami
harapkan dalam penelitian ini untuk menjawab apa yang menjadi problem dari
fenomena yang kami teliti, yaitu untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang
signifikan komitmen pelayanan dalam menghadapi persaingan munculnya minimarket
terhadap kinerja pemilik toko kelontong di kecamatan Mariso Kota Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar